Kritik Max Rafferty terhadap Aliran Pendidikan Progresif (John Dewey)
Max Rafferty (1917-1982) mengkritik pendidikan progresif John Dewey (1859-1952). Dia memberikan sindiran bahwa orang-orang di dunia pendidikan telah keliru karena menjadikan gagasan pendidikan Dewey sebagai satu obat mujarab untuk mengatasi segala permasalahan dalam dunia pendidikan. Berikut ini adalah beberapa poin kritikannya.
Pertama, pendidikan progresif memberikan kebebasan anak dalam belajar; si anak belajar perkalian (Matematika) hanya ketika dia ingin atau merasa membutuhkannya. Bahkan murid-murid Dewey mamandang Pekerjaan Rumah (PR/Homework) sebagai sesuatu yang buruk. Dampak dari diterapkannya hal ini adalah penurunan kompetensi para siswa. Para pengusaha harus mengeluarkan biaya ekstra untuk melatih para pekerja baru karena tidak memiliki standar kompetensi yang memadai. Di samping itu, dalam hal moral dan perilaku pun, konsep pendidikan progresif tidak berdampak positif, bahkan tingkat kenakalan remaja mengalami peningkatan.
Menurut Rafferty, para orang tua bersedia membayar biaya sekolah dengan harapan bahwa anak-anaknya akan diajari supaya menjadi manusia yang berpengetahuan serta sukses saat dewasa. Sekolah tidak perlu mengondisikan para siswa secara psikologis, sekolah bukan tempat untuk menghibur mereka, sekolah hanya mengajar anak-anak itu. Menurutnya, itu sudah lebih dari cukup dan tidak perlu ditambah macam-macam.
Kedua, pendidikan progresif menganggap kompetisi atau persaingan sebagai sesuatu yang buruk. Oleh sebab itu, rapor dan sistem peringkat (ranking) dianggap buruk juga karena dipandang mengandung ketidakadilan di dalamnya. Padahal, menurut Rafferty, sistem pendidikan yang baik adalah pendidikan yang menjunjung arti penting persaingan dan nilai (skor). Dia menambahkan bahwa guru tidak boleh mengobral nilai. Guru tidak boleh sering-sering memberikan nilai A atau 100, padahal tugas yang dinilainya berkualitas buruk dan banyak mengandung kesalahan. Ini akan semakin parah apabila guru tidak menandai kesalahan-kesalahan para siswanya sehingga mereka tidak akan tahu letak kesalahan atau kekurangannya. Baginya, karya bagus harus diberi apresiasi serta pujian sedangkan karya buruk harus dikritik. Rapor adalah penghakiman atas proses belajar siswa dalam suatu periode, isi rapor menyimpulkan kualitas dan upaya siswa serta sejauh mana ia berhasil mengembangkan potensi-potensinya.
Ketiga, pendidikan progresif menghendaki pelajaran yang disesuaikan agar relevan dengan kehidupan sehari-hari sedangkan pendidikan konservatif mengajarkan bidang studi. Bagi Rafferty, Sejarah harus diajarkan sebagai Sejarah dan Geografi harus diajarkan sebagai Geografi. Dia tidak setuju dengan konsep mata pelajaran terintegrasi atau tematik. Rafferty berkata:
"Bukannya mengikat semua jadi satu, menggilingnya, lalu direntangkan, dan dikunyah lebih dulu sampai bisa dihidangkan sebagai sesuatu yang lain, yang (kemudian) diberi merek 'Ilmu-Ilmu Sosial (Social Studies/IPS)' atau lebih payah lagi, diberi cap 'Kehidupan Sosial'. Teorinya sederhana: memang benar suatu pengetahuan tentang Geografi akan membantu kita dalam mempelajari Sejarah, tetapi kenyataan ini tidak harus diikuti dengan anggapan bahwa, kalau begitu, keduanya lebih baik dipadukan dan diajarkan sebagai suatu bidang studi saja. Anggapan semacam itu menggelikan, sama dengan gagasan bahwa, karena Aljabar akan membantu kita mempelajari Fisika, maka keduanya kita satukan saja dengan judul 'Ilmu-Ilmu Kuantitatif' atau 'Kehidupan Kuantitatif'."
Pada jenjang Sekolah Dasar (SD), mata pelajarannya tematik. Menurut Rafferty, di SD, pelajaran tematik seperti 'Keluarga dan Masyarakat' bisa dihilangkan dan digantikan pelajaran 'Para Pahlawan Besar Bangsa Kita' serta 'Undang-Undang Hak-Hak Warganegara'. Di Sekolah Menengah Pertama (SMP), Matematika Umum dan Ilmu Pengetahuan Alam harus dipecah-pecah menjadi mata pelajaran tersendiri seperti Aljabar dan Biologi.
Rafferty menuntut para guru agar menguasai pengetahuan yang menjadi bidang studinya secara menyeluruh. Rafferty mencontohkan guru Bahasa Inggris. Guru Bahasa Inggris wajib mengenal tata bahasa secara mendalam, dia tidak perlu mengajarkan omong kosong seperti 'Bagaimana Berbahasa Inggris supaya Disukai Teman-temanmu'.
Keempat, pendidikan progresif tidak menyukai aktivitas menghapal. Bagi Rafferty, aktivitas menghapal sangat penting. Dia berkata bahwa para siswa harus menghapalkan syair dan prosa terkenal sebagai upaya melestarikan warisan kesusastraan. Penumpukan pengetahuan harus diturunkan dari generasi ke generasi, sekolah harus menjadi penyalur warisan kebudayaan. Materi pelajaran harus dimasukkan ke dalam ingatan para siswa.
Rafferty menginginkan standarisasi buku-buku yang wajib dipelajari oleh para siswa. Buku-buku tersebut harus dipastikan kelayakannya, bermutu, dan berguna. Dia membenci buku yang tidak berisi kecuali omong kosong. Dia menghimbau agar penerbit besar berpikir dua kali sebelum mencekoki para pembeli buku dengan bacaan yang kosong-melompong. Rafferty terobsesi dengan buku yang (menurutnya) berbobot, menggetarkan, menggairahkan, dan memang pantas dibaca. Anak-anak tidak belajar membaca supaya bisa membahagiakan hati guru atau orang tuanya. Mereka belajar membaca karena halaman pertama mampu menarik minat sehingga mereka ingin tahu apa isi halaman kedua.
Di akhir tulisannya, Rafferty mengungkapkan, meskipun dia tidak setuju dengan aliran pendidikan progresif, namun ia mengakui bahwa banyak juga hal-hal positif dari progresivisme pendidikan. Di antara yang diapresiasi oleh Rafferty adalah Pendekatan Penyelesaian Masalah (Problem Based Learning). Dia juga sepakat dengan gagasan bahwa para guru harus memberikan penjelasan kepada para siswanya tentang aktivitas pembelajarannya, mengapa ia melakukan ini dan mengapa ia melakukan itu.
Catatan: tulisan ini merupakan resume dari apa yang saya baca dan pahami di dalam buku Menggugat Pendidikan; Fundamentalis, Konservatif, Liberal, dan Anarkis (hal. 58-68).
Alhamdulillah...lanjutken...
ReplyDelete